Latest News

Contoh Analisis Struktur Dan Ciri Kebahasaan Teks Resensi



CONTOH ANALISIS STRUKTUR DAN CIRI KEBAHASAAN TEKS RESENSI

A.    Contoh Resensi 

Petualangan Bocah di Zaman Jepang 

Judul Novel : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tebal : x + 434 halaman
Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado. Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya yaitu bocah laki-laki
berusia sepuluh tahun sedangkan dalam novel Ca Bau Kan yang telah diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta Kota masa zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini?
Dalam Saksi Mata, yang menjadi “jagoan” alias tokoh utamanya yaitu bocah berusia dua belas tahun berjulukan Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko dan mengambil seting kota Surabaya di zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sendiri bergotong-royong merupakan dongeng bersambung yang dimuat di Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 sampai 2 April 1998.
Kisah berawal ketika Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah bercinta dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan gres diketahui oleh Kuntara jikalau Wiradad yaitu suami sah dari Bulik Rum. “Pemandangan” yang luar biasa itu dan belum patut untuk disaksikan oleh Kuntara menciptakan perasaan hatinya berkecamuk. Kuntara pun masygul dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti jikalau ternyata Bulik Rum yang anggun ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.

Bulik Rum yaitu “wanita simpanan” tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung Asko. Mau tidak mau Bulik Rum harus melayani nafsu Ichiro Nishizumi kapan saja. Sebenarnya Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak bisa mencegah harapan Ichiro Nishizawa yang sangat berkuasa ini. Tetapi Wiradad tidak mau mengalah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.
Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Okada yang merupakan guru Kuntara di sekolah rakyat Mohan-gakko berupaya untuk melampiaskan nafsunya kepada Bulik Rum, yang dengan tegas menolak harapan Okada. Okada yang gelap mata ini segera menikamkan samurai kecilnya sampai jadinya Bulik Rum terbunuh di bungker perlindungan. Okada yang selama ini sangat dihormati oleh Kuntara tenyata mempunyai watak tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa, sama-sama doyan tidur dengan banyak sekali macam perempuan.
Dari sinilah awal kisah “petualangan” Kuntara dalam mengungkap kasus terbunuhnya Bulik Rum sampai upaya untuk membalas dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada.
Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan—tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan banyak sekali kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya.
Dengan segala “kecerdikan” ala detektif cilik Lima Sekawan Kuntara berupaya menuntaskan kasus ini bersama dengan Wiradad.
***
Sangat jarang sekali novel-novel “serius” di Indonesia yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yang memakai tokoh utama seorang anak kecil, selain dari novel Mencoba Tidak Menyerahnya Yudhistira ANM, mungkin hanya novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca dongeng sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil lantaran ia mempunyai perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang gres berusia dua belas tahun menanggapi banyak sekali kejadian yang terjadi dengan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya pada masa penjajahan Jepang dan dengan “kepintarannya” ia mencoba untuk memecahkan problem tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan
bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?

Keunggulan lain dari novel ini yaitu penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau”
Hindia Belanda lantaran nama-nama jalannya masih memakai nama-nama Belanda. Juga wacana bungker-bungker santunan yang dipakai untuk bersembunyi kala ada serangan udara--kebetulan ketika itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga wacana
stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.

Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata terang tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia yaitu penulis yang hidup dalam tiga zaman- -kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan.
Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada dongeng yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele. Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Tetapi uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Makara bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, ibarat saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri. (Dodiek Adyttya Dwiwa dalam Cybersastra.net)
 

Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

B.     Analisis Struktur Resensi

1.      Judul resensi

Petualangan Bocah di Zaman Jepang

2.      Identitas buku yang diresensi

Judul Novel : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tebal : x + 434 halaman

3.      Pendahuluan (memperkenalkan pengarang, tujuan pengarang buku, dll)

Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado. Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya yaitu bocah laki-laki

berusia sepuluh tahun sedangkan dalam novel Ca Bau Kan yang telah diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta Kota masa zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini?

Dalam Saksi Mata, yang menjadi “jagoan” alias tokoh utamanya yaitu bocah berusia dua belas tahun berjulukan Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko dan mengambil seting kota Surabaya di zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sendiri bergotong-royong merupakan dongeng bersambung yang dimuat di Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 sampai 2 April 1998.

4.      Inti/isi resensi

Kisah berawal ketika Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah bercinta dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan gres diketahui oleh Kuntara jikalau Wiradad yaitu suami sah dari Bulik Rum. “Pemandangan” yang luar biasa itu dan belum patut untuk disaksikan oleh Kuntara menciptakan perasaan hatinya berkecamuk. Kuntara pun masygul dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti jikalau ternyata Bulik Rum yang anggun ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.

Bulik Rum yaitu “wanita simpanan” tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung Asko. Mau tidak mau Bulik Rum harus melayani nafsu Ichiro Nishizumi kapan saja. Sebenarnya Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak bisa mencegah harapan Ichiro Nishizawa yang sangat berkuasa ini. Tetapi Wiradad tidak mau mengalah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.

Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Okada yang merupakan guru Kuntara di sekolah rakyat Mohan-gakko berupaya untuk melampiaskan nafsunya kepada Bulik Rum, yang dengan tegas menolak harapan Okada. Okada yang gelap mata ini segera menikamkan samurai kecilnya sampai jadinya Bulik Rum terbunuh di bungker perlindungan. Okada yang selama ini sangat dihormati oleh Kuntara tenyata mempunyai watak tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa, sama-sama doyan tidur dengan banyak sekali macam perempuan.

Dari sinilah awal kisah “petualangan” Kuntara dalam mengungkap kasus terbunuhnya Bulik Rum sampai upaya untuk membalas dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada.

Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan—tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan banyak sekali kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya.

Dengan segala “kecerdikan” ala detektif cilik Lima Sekawan Kuntara berupaya menuntaskan kasus ini bersama dengan Wiradad.
5.      Keunggulan buku

Sangat jarang sekali novel-novel “serius” di Indonesia yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yang memakai tokoh utama seorang anak kecil, selain dari novel Mencoba Tidak Menyerahnya Yudhistira ANM, mungkin hanya novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca dongeng sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil lantaran ia mempunyai perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang gres berusia dua belas tahun menanggapi banyak sekali kejadian yang terjadi dengan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya pada masa penjajahan Jepang dan dengan “kepintarannya” ia mencoba untuk memecahkan problem tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan

bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?

Keunggulan lain dari novel ini yaitu penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau”

Hindia Belanda lantaran nama-nama jalannya masih memakai nama-nama Belanda. Juga wacana bungker-bungker santunan yang dipakai untuk bersembunyi kala ada serangan udara--kebetulan ketika itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga wacana

stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.

Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata terang tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia yaitu penulis yang hidup dalam tiga zaman- -kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan.

Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada dongeng yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele


6.      Kekurangan buku

Tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Makara bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, ibarat saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.


7.      Penutup

Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Tetapi uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Makara bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, ibarat saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.


C.    Ciri Kebahasaan Teks Resensi

Teks resensi tersebut mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan ibarat berikut.
1. Banyak memakai konjungsi penerang, ibarat bahwa, yakni, yaitu.

     Contoh pada teks sebagai berikut.

a.       Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya yaitu bocah laki-laki
berusia sepuluh tahun

b.      Keunggulan lain dari novel ini yaitu penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang)

2. Banyak memakai konjungsi temporal: sejak, semenjak, kemudian, akhirnya

     Contoh pada teks sebagai berikut.

a. Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado.

b. Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan—tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan banyak sekali kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya.

       3. Banyak memakai konjungsi penyebababan: karena, sebab.

            Contoh pada teks sebagai berikut.

a. Adalah hal yang menarik apabila membaca dongeng sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil karena ia mempunyai perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi

b. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau” Hindia Belanda karena nama-nama jalannya masih memakai nama-nama Belanda.

4. Menggunakan pernyataan-pernyataan yang berupa saran atau rekomendasi pada pecahan simpulan teks. Hal ini ditandai oleh kata jangan, harus, hendaknya,

Contoh pada teks sebagai berikut.

Jadi bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, ibarat saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri. 

Baca Juga
Pengertian, Jenis, dan Fungsi Teks Resensi/Ulasan


Struktur dan Ciri Kebahasaan Teks Resensi/Ulasan



0 Response to "Contoh Analisis Struktur Dan Ciri Kebahasaan Teks Resensi"

Total Pageviews