Latest News

Cerita Rakyat Betawi-Si Pitung

Cerita Rakyat Betawi-Si Pitung

Si Pitung ialah tokoh legendaris dan pendekar dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai pesilat unggul yg saleh dan rendah hati. Dengan keahliannya itu, ia membela rakyat kecil di kawasan Jakarta yg tertindas oleh penjajahan Belanda. Ia merampok orang-orang yg menjadi kaya alasannya menjadi kaki tangan Belanda, kemudian membagi-bagikan hasil rampasannya kepada rakyat jelata. Sehingga, ia dikenal juga sebagai “Robin Hood dari Betawi”. Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.

 Si Pitung ialah tokoh legendaris dan pendekar dalam masyarakat Betawi di Jakarta Cerita Rakyat Betawi-Si PitungPada suatu sore, Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore itu ia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai-balai bambu sambil memegangi perutnya yg membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah bakal melahirkan. Pak Piun tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yg lahir kelak bakal menjadi anak yg berguna. 

Tiba-tiba Keliru satu dari ketiga anaknya yg duduk di erat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.


“Pak, Mengapa padi yg gres saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng (Babah Liem)?” Pak Piun melongo sejenak, kemudian menjawab dengan pelan. “Agarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”

Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau alasannya padi yg gres saja dipanen tibatiba saja dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di kawasan itu, rakyat jelata ibarat beliau tidak bisa melawan perampasan itu.  

Kampung Rawabelong, kampungnya, ialah kepingan dari pMaknakelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yg berkuasa di sana ialah Liem Tjeng Soen. Tanah pMaknakelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.  

Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari kalangan pribumi. Mereka bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng-centeng yg pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya melongo Saat centeng-centeng mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yg bisa dibawa.

Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yg gres lahir itu Pitung, dan memanggilnya dengan nama si Pitung. Segimana belum dewasa Betawi umumnya, Pitung dibesarkan dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, berguru mengaji, membantu ayahnya menanam padi, memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetanggatetangganya tanpa diminta.  

Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan santun dan patuh kepada kedua orangtuanya. 

Pitung berguru pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama yg dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi murid kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan cita-cita kelak ia menjadi murid yg berkhasiat bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan menunjukkan ilmu Pancasona, sebuah ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yg lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang.”

Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin relasi dengan Aisyah, dan berjanji bakal menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.  


Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan centeng-centeng Babah Liem. Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka. Namun, ibunya mencegah Pitung. “Jangan, Tung. 

Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan eksekusi sendiri.” Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centengcenteng itu. Namun, di hari lain, Saat ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi centeng-centeng itu bertindak sewenang-wenang. Pitung tak sanggup menahan diri lagi.

 Dihampirinya centeng-centeng yg sedang sibuk merampasi barang keluarga yg malang itu. “Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Mengapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi. Sendiri-sendiri Jika berani!” Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan. “Hai, kau tidak tahu siapa saya ini ya? Pantas saja kau berani membentak-bentak ibarat itu.” “Cuih!” Pitung meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yg lemah. Sini, Jika berani bertarung melawanku.”

 Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung bakal Mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. 

Centeng-centeng yg lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. 

Ada lima centeng yg mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. 

Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yg masih pingsan dan melarikan diri. Sebelum pergi, mereka mengancam: 

“Awas, nanti saya laporkan Demang.” Beberapa hari setelah insiden itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak mau congkak. Ia bahkan menghindar Jika ada orang yg bertanya kepadanya wacana insiden itu.


 Si Pitung ialah tokoh legendaris dan pendekar dalam masyarakat Betawi di Jakarta Cerita Rakyat Betawi-Si PitungSuatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi keperluan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing dari sangkar dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yg membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung Saat Pitung mengantongi uang hasil penjualan kambing. Bahkan Saat Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap membuntutinya. Saat Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri uang di saku baju Pitung. 

Pitung hingga di rumah dan dimarahi ayahnya alasannya uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yg telah mencuri uangnya. setelah melaksanakan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng-centeng lainnya di sebuah kedai kopi.  

Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”  

Para centeng itu tertawa. 

Keliru seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kau Musti menjadi anggota saya.” “Cuh! Tak sudi saya jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar.

 Para centeng itu murka mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yg mereka hadapi ialah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yg pernah menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian. 

Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. yg berani menggunakan senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka. 

Sejak hari itu, Si Pitung tetapkan untuk membela orang-orang yg lemah. 

Ia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yg ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda. 

Beberapa centeng yg pernah dihajarnya ada yg insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk suatu kelompok. 

Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah. 

Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada dikala yg bersamaan, muncul juga kelompok-kelompok lain yg ikut-ikutan merampok atas nama Si Pitung. 

Para tuan tanah dan orang-orang yg mengambil laba dengan trik memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka mengadukan masalah itu kepada pemerintah Belanda.

 Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di mana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yg mau memberi tahu keberadaan si Pitung Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan pernah hingga ke Marunda. Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang-orang kaya, para demang dan tuan tanah. 

Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yg lemah dan tertindas oleh penjajahan. Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka bakal merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Saat kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung memagarkan dirinya tertangkap, sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.

 Namun, alasannya selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para penjaga menjadi panik karnanya. “Wah, gimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada sahabat satu sel Pitung. “Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab sahabat satu sel Pitung. Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa supaya memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun dibui di Grogol. 

Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang Saat mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.

Pada hari yg ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah.

 Pitung meminta supaya Haji Naipin dilepaskan dulu. setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan senjata mereka kepada Pitung. “Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengan nada sombong.

 “Iya, tapi nanti saya niscaya bakal lolos lagi. Dengan orang pengecut ibarat kalian, yg beraninya hanya mengandalkan anak buah, saya tidak takut,” jawab Pitung. Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi instruksi supaya pasukannya bersiap menembak. Haji Naipin yg masih ada di situ memprotes tindakan yg pengecut itu. Namun, sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.

Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yg turut mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. 

 Si Pitung ialah tokoh legendaris dan pendekar dalam masyarakat Betawi di Jakarta Cerita Rakyat Betawi-Si PitungMereka bakal selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka. Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya alasannya ia telah menembak orang yg tidak melawan Saat ditangkap. *** Walaupun pada kesannya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai pendekar dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yg berani menegakkan kebenaran dan keadilan bakal selalu berkhasiat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. 

Sedangkan orang pengecut ibarat Scout Heyne, yg menggunakan nalar licik untuk menghadapi lawan, pada kesannya bakal mendapatkan jawaban dari kelicikannya. Kisah wacana si Pitung bermetamorfosis dongeng rakyat (folklore) dengan banyak sekali versi.

 Kemudian, selain dikisahkan ulang setrik tercetak melalui buku dan majalah, kisah si Pitung juga diproduksi menjadi film yg selalu laris, ibarat Titisan Si Pitung (1989-sutradara Tommy Burnama) dan Pitung 3: Pembalasan Si Pitung Ji’ih (1977-sutradara Nawi Ismail). Pada tahun 1982, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli sebuah rumah di Teluk Jakarta, Marunda, yg dipercaya sebagai rumah si Pitung.

 Namun, berdasarkan Jakarta Post (23/10/1999), rumah itu gotong royong milik Syafiudin, yg merupakan Keliru satu korban Si Pitung. Walaupun demikian, hal ini tetap menandakan bahwa Si Pitung telah dianggap sebagai tauladan yg penting bagi masyarakat.



Riwayat hidup Si Pitunga


Si Pitung lahir di kampung Pengumben, sebuah permukiman kumuh di Rawabelong, erat Stasiun Palmerah kini ini. Putra keempat pasangan Bang Piung dan Mbak Pinah [1] ini berjulukan orisinil Salihoen. Menurut riwayat lisan, julukan "Si Pitung" berasal dari frasa Jawa "pituan pitulung" yg berMakna "tujuh sekawan tolong-menolong".[2] Semasa kanak-kanak, Salihoen berguru di pesantren Hadji Naipin,[3] tempat ia diajari mengaji, dilatih pencak silat, dan dibiasakan untuk selalu waspada terhadap keadaan di sekitarnya.[1]

Pada dasarnya ada tiga versi kisah Si Pitung yg beredar di tengah masyarakat, yakni versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing versi menyoroti langsung Si Pitung dengan evaluasi tersendiri. Si Pitung disanjung sebagai pendekar dalam versi Indonesia, tetapi dikecam sebagai penjahat dalam versi Belanda.[4]

Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga dikala ini dan menjadi kepingan legenda serta warisan budaya Betawi pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Kisah Si Pitung kadang kala dituturkan dalam bentuk rancak (sejenis balada), syair, atau dongeng Lenong. Dalam versi Koesasi (1992), Si Pitung dicitrakan sebagai tokoh Betawi yg merakyat, seorang muslim yg saleh, dan suri contoh dalam menegakkan keadilan sosial.[5]



Awal legenda Si Pitung


Menurut versi van Till (1996) Si Pitung ialah seorang penjahat. Kisahnya berawal Saat Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang yg kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar berdasarkan versi Film Si Pitung tahun 1970) tuan tanah. Si Pitung pulang dengan tangan hampa, namun si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa beliau telah dirampok. Ayah Pitung yg murka kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan kesannya sanggup menemukannya kembali. Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka. Pada awalnya Pitung menolak, tetapi kesannya Pitung bergabung dengan mereka. Legenda yg dikisahkan dalam film Si Pitung, Pitung dan kawanannya menggunakan trik yg “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung disebut sebagai "Demang Mester Cornelis"-Areal Mester Cornelis dikala ini disebut sebagai Jatinegara, merupakan kepingan dari Kota Jakarta Timur–dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian, mereka melaksanakan penipuan dengan menunjukkan surat kepada Haji Saipudin supaya Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin oke kemudian Pitung dan kelompoknya membawa lari uang tersebut.[6]

Akibat dari hal ini, si Pitung dan kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yg berjulukan Van Heyne (Schout Van Heyne, Van Heijna, Scothena, atau Tuan Sekotena). Setrik resmi, berdasarkan Van Till (1996), nama petugas polisi tersebut berjulukan A.W. Van Hinne yg pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. Menurut catatan kepolisian Belanda, Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di bermacam-macam tempat di Indonesia. Van Hinne menderita sakit yg serius setelah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada final tahun 1880, Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya beliau sanggup menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung bisa bebas dengan kekuatan sihir, tetapi berdasarkan versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.[7]

Kemudian, Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka diam-diam kesaktian si Pitung. Akhirnya, diketahui kesaktian tersebut berupa “jimat”, sehingga Hinne sanggup menangkap Si Pitung setrik lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi berdasarkan versi film Si Pitung Banteng Betawi (1971), ia dikhianati oleh Somad yg memberitahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya menyampaikan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain menyampaikan bahwa kesaktiannya hilang alasannya seseorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal alasannya luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak alasannya peluru emas). setelah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara alasannya percaya bahwa Si Pitung bakal bangun dari kubur. Hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):

Sumber: Wikipedia










0 Response to "Cerita Rakyat Betawi-Si Pitung"

Total Pageviews