Seorang dosen kembali dari Tokyo membawa gelar Magister Sains Genetika Ikan. Ia melapor akan keberhasilannya itu. Yang ditanyakan rektornya ialah apa yang membuatnya terkesan dengan jadwal pendidikan pascasarjana di Jepang. Maka ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, seumur-umurnya gres pada ketika itu ia selama berdiri hanya memikirkan dan berbitrik perihal ikan atau perihal genetika atau perihal genetika ikan. Pagi hari ketika sarapan ia berbincang dengan mitra sekerjanya perihal sikap ikan. Di dalam laboratorium ia diajak berdiskusi mengenai DNA oleh dosennya, dan sewaktu makan siang di sela-sela memotong-motong filet tongkol, ia berbincang perihal kawasan penangkapan tongkol di kawasan Kepulauan Aru. Malam harinya sewaktu tidur, ia bermimpi perihal ikan. Tidak diceritakannya apakah sebelum bermimpi mengenai ikan itu keesokan harinya ia menang undian berhadiah (karena ada satu mitos jikalau mimpi mendapatkan ikan akan ketiban rejeki).
Kemudian lagi rektornya bertanya kepadanya insiden apa yang paling mengagetkan yang dihadapinya di kampus asalnya sewaktu ia kembali mengajar. Ternyata ia terkejut sekali ketika melihat warga kampus sewaktu sedang beristirahat tidak berbincang mengenai ilmu yang harus ditekuni-nya, melainkan mengenai upaya mengokohkan keyakinan dan bagaimana triknya berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.
Tidak ada lagi yang mereka perbincangkan selain bagaimana triknya mendukung usaha umat yang seiman. Kalau pun ada bedah buku diantara sesama mahasiswa, maka pokok bahasan bedah buku itu menyangkut persoalan yang ada di luar jangkauan, menyerupai contohnya di Palestina atau Bosnia. Masalah yang kalau hanya dibitrikkan tidak ada selesai-selesainya.
Ini mengingatkan rektornya akan insiden seorang anggota tim olimpiade matematika internasional asal Denmark berbincang-bincang dengan anggota tim dari Norwegia perihal penyelesaian sebuah masalah matematika yang memerlukan pengetahuan perihal teori Galois. Percakapan itu mereka lakukan ketika sedang berpesiar dengan kapal di Laut Bosporus. Apa yang dilakukan di Jepang dan Laut Bosporus itu ialah contoh perihal ketekunan yang diungkapkan ilmuwan biologi dan calon ilmuwan matematika ketika mereka sudah bertekad menentukan bidang ilmu itu sebagai perhatian pokok dalam perjalanan hidup mereka. Hasilnya ialah bahwa mereka kesudahannya mendalami benar bidang ilmu genetika atau matematika itu dan bukan hanya sekadar pengetahuan tipe-tipe sosial.
Beberapa waktu kemudian biologiawan IPB mendapatkan penghargaan akademik dari suatu yayasan. Untuk itu ia diberi pemberian penelitian kira-kira 40.000 dolar AS. Orang ini dikenal sangat menekuni bidang ilmunya. Demikian pula ada seorang dosen yang menerima hadiah penelitian dalam bidang ilmu serangga dan lingkungan. Ia juga selalu tekun bekerja dalam bidang ilmunya sendiri. Sama halnya dengan dosen Fakultas Peternakan Unsoed yang di Australia menemukan trik penyimpanan mani beku sapi di dalam tabung sedotan yang terbuat dari plastik sehabis usahanya berkali-kali gagal. Untuk itu ia mendapatkan hadiah medali emas penelitian Yayasan Hewlett-Packard.
Ketekunan ketiganya itu tentu saja didampingi oleh kalayak akademik yang tinggi. Namun kalayak akademik yang tinggi saja belum cukup untuk membuahkan hasil penelitian yang cemerlang. Diperlukan kreativitas dan ketekunan melaksanakan kiprah yang tinggi. Ketiga ciri ini yang seharusnya dimiliki oleh orang berbakat yang pekerjaannya ialah membuat pengetahuan gres dan atau memperbaiki manfaat suatu pengetahuan.
Apakah di masyarakat akademik perguruan tinggi kita suasana ketekunan dan kesetiaan menangani kiprah itu ada atau tidak ada, sanggup dirangkum dari poster-poster yang ditempelkan di mana saja di dalam kampus yang sanggup dilekati kertas. Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melain-kan mengenai siraman rohani, bedah buku perihal solidaritas Palestina dan aneka macam diskusi mengenai aneka macam kebobrokan yang terjadi di tanah air.
Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang diperbicangkan. Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas keimanan sampai aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kalau yang ditangani hanya itu saja, tidak perlu susah-susah mencar ilmu di perguruan tinggi, kecuali kalau kita hanya bermaksud mendapatkan gelar dan ijasah saja, bukan kemampuan dan keahliannya. Jika hanya itu yang kita inginkan, lebih baik mengikuti ujian persamaan B.Sc, M.Sc, Ph.D dan MBA di aneka macam yayasan “gombal”.
Bagaimana lulusan perguruan tinggi di Indonesia sanggup mengimbangi kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi yang sudah mapan di negara maju kalau yang ditekuninya selama mencar ilmu di perguruan tinggi bukanlah bidang ilmunya sendiri. Apakah dengan “kematangan bermasyarakat” dengan berkonsentrasi penuh ke atrik ekstra kurikuler kita bisa menjadi ilmuwan bertaraf internasional?
Melalui media internet saya pernah diserang habis-habisan ketika yang menjadi pemenang medali perunggu pada olimpiade matematika tingkat Asia Pasifik dan olimpiade matematika internasional hanyalah siswa SMU yang bertapak di Jawa. Ketika itu saya dituduh mendiskriminasikan mereka yang berasal dari Luar Jawa. Hujatan itu memang pantas muncul di zaman reformasi menyerupai sekarang. Namun seharusnya penghujat yang notabene mahasiswa pascasarjana matematika itu mesti menggunakan nalarnya dan bukan pemikiran dengkulnya.
Karena itu, hendaknya semua orang yang sedang mencar ilmu apa saja, untuk tekun mempelajari apa yang seharusnya dipelajarinya agar mendapatkan kelayakan profesional di dalam bidang yang diminatinya. Jangan terjerumus ke zaman Firaun, ketika seleksi menjadi andal bedah otak dilakukan dengan trik berendam semalam suntuk di Sungai Nil. Jangan juga terjerumus ke keadaan di Pakistan, ketika seorang Ph.D Fisika Nuklir lulusan MIT melamar menjadi tenaga akademik. Pertanyaan penguji bukan hal-hal yang pelik mengenai dentuman besar (big bang). Sederhana saja, namun cukup mengejutkan alasannya Doktor Fisika itu diminta melafalkan Doa Qunut. Jika ia tidak hafal doa Qunut, maka pastilah ia seorang Wahabi.
Mari kita renungkan, apa saja yang sanggup kita perbaiki mengenai kehidupan akademik di kampus, baik oleh tenaga akademik, tenaga manajemen maupun mahasiswa. Jika mahasiswa berlaku menyerupai itu, seharusnya tenaga akademiknya merasa bersalah, alasannya hal itu menunjukan bahwa tenaga akademik belum sanggup membawakan suasana akademik ke dalam kampus, termasuk membawa mahasiswanya ke suasana ingin mengetahui.
Pernah seorang dewan penyantun suatu universitas besar di Jakarta yang diselenggarakan masyarakat bertanya pada saya, universitas apa di Indonesia yang suasana akademiknya sudah menyamai suatu universitas penelitian. Jawab saya dengan tegas, belum ada. Dan ketika ia menanyakan alasannya, saya katakan bahwa di kampus dikala ini banyak mahasiswa termasuk juga mahasiswa pascasarjana serta dosen hanya menghadiri seminar alasannya harus menandatangani daftar hadir. Kalau kurang tandatangan di daftar hadir, ada kemungkinan ia dihentikan ikut ujian atau kredit kenaikan pangkatnya tidak cukup. Kalau begitu halnya, di kampus kita orang hadir di seminar bukan alasannya ingin tahu lebih banyak, melainkan alasannya takut tidak lulus ujian atau tidak naik pangkat.*
*Ketekunan yang Langka, oleh: Prof.Dr.Ir. Andi Hakim Nasoetion (1932-2002) ialah Guru Besar Statistika IPB, yang pernah menjadi Rektor IPB pada 1978-1987 dan Ketua STT Telkom pada 1998-2001. H Gunawan's Blog.
Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
Kemudian lagi rektornya bertanya kepadanya insiden apa yang paling mengagetkan yang dihadapinya di kampus asalnya sewaktu ia kembali mengajar. Ternyata ia terkejut sekali ketika melihat warga kampus sewaktu sedang beristirahat tidak berbincang mengenai ilmu yang harus ditekuni-nya, melainkan mengenai upaya mengokohkan keyakinan dan bagaimana triknya berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.
Tidak ada lagi yang mereka perbincangkan selain bagaimana triknya mendukung usaha umat yang seiman. Kalau pun ada bedah buku diantara sesama mahasiswa, maka pokok bahasan bedah buku itu menyangkut persoalan yang ada di luar jangkauan, menyerupai contohnya di Palestina atau Bosnia. Masalah yang kalau hanya dibitrikkan tidak ada selesai-selesainya.
Ini mengingatkan rektornya akan insiden seorang anggota tim olimpiade matematika internasional asal Denmark berbincang-bincang dengan anggota tim dari Norwegia perihal penyelesaian sebuah masalah matematika yang memerlukan pengetahuan perihal teori Galois. Percakapan itu mereka lakukan ketika sedang berpesiar dengan kapal di Laut Bosporus. Apa yang dilakukan di Jepang dan Laut Bosporus itu ialah contoh perihal ketekunan yang diungkapkan ilmuwan biologi dan calon ilmuwan matematika ketika mereka sudah bertekad menentukan bidang ilmu itu sebagai perhatian pokok dalam perjalanan hidup mereka. Hasilnya ialah bahwa mereka kesudahannya mendalami benar bidang ilmu genetika atau matematika itu dan bukan hanya sekadar pengetahuan tipe-tipe sosial.
Beberapa waktu kemudian biologiawan IPB mendapatkan penghargaan akademik dari suatu yayasan. Untuk itu ia diberi pemberian penelitian kira-kira 40.000 dolar AS. Orang ini dikenal sangat menekuni bidang ilmunya. Demikian pula ada seorang dosen yang menerima hadiah penelitian dalam bidang ilmu serangga dan lingkungan. Ia juga selalu tekun bekerja dalam bidang ilmunya sendiri. Sama halnya dengan dosen Fakultas Peternakan Unsoed yang di Australia menemukan trik penyimpanan mani beku sapi di dalam tabung sedotan yang terbuat dari plastik sehabis usahanya berkali-kali gagal. Untuk itu ia mendapatkan hadiah medali emas penelitian Yayasan Hewlett-Packard.
Ketekunan ketiganya itu tentu saja didampingi oleh kalayak akademik yang tinggi. Namun kalayak akademik yang tinggi saja belum cukup untuk membuahkan hasil penelitian yang cemerlang. Diperlukan kreativitas dan ketekunan melaksanakan kiprah yang tinggi. Ketiga ciri ini yang seharusnya dimiliki oleh orang berbakat yang pekerjaannya ialah membuat pengetahuan gres dan atau memperbaiki manfaat suatu pengetahuan.
Apakah di masyarakat akademik perguruan tinggi kita suasana ketekunan dan kesetiaan menangani kiprah itu ada atau tidak ada, sanggup dirangkum dari poster-poster yang ditempelkan di mana saja di dalam kampus yang sanggup dilekati kertas. Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melain-kan mengenai siraman rohani, bedah buku perihal solidaritas Palestina dan aneka macam diskusi mengenai aneka macam kebobrokan yang terjadi di tanah air.
Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang diperbicangkan. Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas keimanan sampai aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kalau yang ditangani hanya itu saja, tidak perlu susah-susah mencar ilmu di perguruan tinggi, kecuali kalau kita hanya bermaksud mendapatkan gelar dan ijasah saja, bukan kemampuan dan keahliannya. Jika hanya itu yang kita inginkan, lebih baik mengikuti ujian persamaan B.Sc, M.Sc, Ph.D dan MBA di aneka macam yayasan “gombal”.
Bagaimana lulusan perguruan tinggi di Indonesia sanggup mengimbangi kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi yang sudah mapan di negara maju kalau yang ditekuninya selama mencar ilmu di perguruan tinggi bukanlah bidang ilmunya sendiri. Apakah dengan “kematangan bermasyarakat” dengan berkonsentrasi penuh ke atrik ekstra kurikuler kita bisa menjadi ilmuwan bertaraf internasional?
Melalui media internet saya pernah diserang habis-habisan ketika yang menjadi pemenang medali perunggu pada olimpiade matematika tingkat Asia Pasifik dan olimpiade matematika internasional hanyalah siswa SMU yang bertapak di Jawa. Ketika itu saya dituduh mendiskriminasikan mereka yang berasal dari Luar Jawa. Hujatan itu memang pantas muncul di zaman reformasi menyerupai sekarang. Namun seharusnya penghujat yang notabene mahasiswa pascasarjana matematika itu mesti menggunakan nalarnya dan bukan pemikiran dengkulnya.
Peraih medali perunggu itu ternyata ialah siswa-siswa yang dengan kecintaan menekuni matematika dan kebanyakan dari mereka berasal dari sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat (swasta), bukan dari sekolah yang diselenggarakan negara (negeri). Atau kalau ia berasal dari sekolah yang diselenggarakan negara, lingkungan keluarganya ialah lingkungan yang menghargai ketekunan kerja.Siapa mereka itu? Boleh ditebak sendiri, lingkungan keluarga yang mana yang sanggup membedakan kapan harus menekuni pelajaran perihal keimanan dan ilmu naqliah dan kapan lagi harus tekun menuntut ilmu aqliah.
Karena itu, hendaknya semua orang yang sedang mencar ilmu apa saja, untuk tekun mempelajari apa yang seharusnya dipelajarinya agar mendapatkan kelayakan profesional di dalam bidang yang diminatinya. Jangan terjerumus ke zaman Firaun, ketika seleksi menjadi andal bedah otak dilakukan dengan trik berendam semalam suntuk di Sungai Nil. Jangan juga terjerumus ke keadaan di Pakistan, ketika seorang Ph.D Fisika Nuklir lulusan MIT melamar menjadi tenaga akademik. Pertanyaan penguji bukan hal-hal yang pelik mengenai dentuman besar (big bang). Sederhana saja, namun cukup mengejutkan alasannya Doktor Fisika itu diminta melafalkan Doa Qunut. Jika ia tidak hafal doa Qunut, maka pastilah ia seorang Wahabi.
Mari kita renungkan, apa saja yang sanggup kita perbaiki mengenai kehidupan akademik di kampus, baik oleh tenaga akademik, tenaga manajemen maupun mahasiswa. Jika mahasiswa berlaku menyerupai itu, seharusnya tenaga akademiknya merasa bersalah, alasannya hal itu menunjukan bahwa tenaga akademik belum sanggup membawakan suasana akademik ke dalam kampus, termasuk membawa mahasiswanya ke suasana ingin mengetahui.
Pernah seorang dewan penyantun suatu universitas besar di Jakarta yang diselenggarakan masyarakat bertanya pada saya, universitas apa di Indonesia yang suasana akademiknya sudah menyamai suatu universitas penelitian. Jawab saya dengan tegas, belum ada. Dan ketika ia menanyakan alasannya, saya katakan bahwa di kampus dikala ini banyak mahasiswa termasuk juga mahasiswa pascasarjana serta dosen hanya menghadiri seminar alasannya harus menandatangani daftar hadir. Kalau kurang tandatangan di daftar hadir, ada kemungkinan ia dihentikan ikut ujian atau kredit kenaikan pangkatnya tidak cukup. Kalau begitu halnya, di kampus kita orang hadir di seminar bukan alasannya ingin tahu lebih banyak, melainkan alasannya takut tidak lulus ujian atau tidak naik pangkat.*
*Ketekunan yang Langka, oleh: Prof.Dr.Ir. Andi Hakim Nasoetion (1932-2002) ialah Guru Besar Statistika IPB, yang pernah menjadi Rektor IPB pada 1978-1987 dan Ketua STT Telkom pada 1998-2001. H Gunawan's Blog.
Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
0 Response to "Ketekunan Yang Langka"